STUDY DESKRIPTIF TENTANG PENYEBAB
TERJADINYA KEKERASAN TERHADAP ANAK-ANAK DI TANGERANG TAHUN 2008
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dunia anak masih dalam duka. Kehidupan anak terus ternoda
oleh berbagai aksi kekerasan, baik yang datang dari keluarga, sekolah,
lingkungan sekitar, bahkan negara. Dari tahun ketahun aksi kekerasn tersebut
terus mengalami peningkatan.
Tak hanya mengalami perlakuan salah dari orang tua
atau anggota keluarga, sosok bernama anak ini pun kadang masih harus berhadapan
dengan guru yang belum seluruhnya mampu menjadikan dirinya sebagai pendidik
anak yang baik. Bahkan disektor publik, realitasnya bahkan lebih ironis. Banyak
anak-anak yang dipaksa bekerja untuk menambal kehidupan ekonomi keluarganya.
Penulis
memilih masalah tersebut karena akhir-akhir ini sering kita lihat ditelevisi
sering terjadi penyiksaan atau kekerasan terhadap anak yang dilakukan
oleh orang terdekat mereka.
2. Rumusan Masalah
- Apa macam-macam tindak kekerasan terhadap anak?
- Siapa pelaku tindak kekerasan terhadap anak?
- Apa penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak?
- Bagaimana cara menanggulangi kekerasan terhadap anak?
3. Tujuan Penelitian
- Untuk mengetahui macam-macam tindak kekerasan terhadap anak.
- Untuk mengetahui pelaku tindak kekerasan terhadap anak.
- Untuk mengetahui penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak.
- Untuk mengetahui cara menanggulangi kekerasan terhadap anak.
4. Kegunaan
Penelitian
1. Bagi
Pemerintah : Agar pemerintah
lebih memperhatikan nasib anak dan melindungi hak anak di Indonesia.
2. Bagi
Masyarakat : Agar masyarakat
mengetahui bahwa kekerasan terhadap anak dapat menimbulkan goncangan jiwa
anak tersebut dan dapat memperhatikan anak-anaknya lebih baik lagi.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
A. Kajian
Teori
Akhir-akhir
ini sering kita lihat ditelevisi sering terjadi penyiksaan atau kekerasan
terhadap anak yang dilakukan oleh orang terdekat mereka. Fenomena semacam ini
kadang sulit kita logikakan bagaimana mungkin mereka yang diberi kepercayaan
untuk menjaga dan membesarkan titipan dari-Nya malah tidak berperasaan
melakukan penyiksaan. Dimana hal tersebut diatas terjadi hanya karena masalah
yang seharusnya belum sepantasnya dibebankan pada anak, masalah ekonomi,
pertengkaran dengan pasangan bahkan ketidakpuasan dalam rumah tangga bisa
menjadikan orang terdekat anak sebagai monster yang siap setiap saat merenggut
kebebasan dan kebahagiaan anak.
Menurut Dr.
Irwanto, barbagai bentuk kekerasan terhadap anak hingga kini masih terus
terjadi di Indonesia dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bentuk kekerasan yang
dilakukan 40%-70% berupa kekerasn fisik dan emosional dan 2%-5% berupa
kekerasan seksual.
1. Definisi
Kekerasan
Menurut WHO,
kekerasan adalah penggunaan secara sengaja kekuatan fisik atau kekuatan,
ancaman atau kekerasan aktual terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap
kelompok atau komunitas, yang berakibat luka atau kemungkinan besar bisa
melukai, mematikan, membahayakan psikis, pertumbuhan yang tidak normal atau kerugian. Penggunaan kata kekuasaan di dalam
definisi kekerasan bertujuan untuk memperluas pemahaman tentang kekerasan dan
memperluas pemahaman konvensional tentang kekerasan dengan memasukkan juga
tindakan-tindakan kekerasan yang merupakan hasil dari relasi kekuasaan,
termasuk di dalam ancaman dan intimidasi.
2.Faktor-Faktor
Penyebab Kekerasan Terhadap Anak
Komisi
Nasional Perlindungan Anak menilai faktor ekonomi sebagai pemicu utama maraknya
kekerasan terhadap anak. “Kemiskinan menyumbang stress terhadap orang tua yang
kemudian melampiaskan ke anak”, ujar Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak
Seto Mulyadi. Faktor kemiskinan, tekanan hidup yang semakin meningkat,
kemarahan terhadap pasanagn dan ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah
ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak. Diperparah
dengan berbagai kebijakan pembiaran yang dilakukan negara terhadap pelanggaran
hak anak. Kejadian seperti busung lapar, polio, demam berdarah, anak terlantar,
anak putus sekolah sampai pada kenaikan BBM merupakan sebagian daftar panjang
kebijakan negara yang semakin mempersulit kehidupan masyarakat menengah
kebawah.
Beberapa
faktor sosial yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak adalah :
a. Tidak ada kontrol sosial pada tindakan
kekerasan terhadap anak-anak
Bapak yang mencambuk anaknya tidak dipersoalkan
tetangganya, selama anak itu tidak meninggal atau tidak dilaporkan ke polisi.
Sebagai bapak, ia melihat anaknya sebagai hak milik dia yang dapat diperlakukan
sekehendak hatinya. Tidak ada aturan hukum yang melindungi anak dari perlakuan
buruk orang tua atau wali atau orang dewasa lainnya.
Saya mempunyai teman dirumah yang kebetulan anak seorang tentara. Kegiatan di rumah diatur sesuai jadual yang ditetapkan orang tuanya. Ia harus belajar sampai menjelang tengah malam. Subuh harus bangun untuk bekerja membersihkan rumah. Bila ia itu melanggar, ia pasti ditempeleng atau dipukuli. Sang Bapak sama sekali tidak merasa bersalah. Ia beranggapan melakukan semuanya demi kebaikan anak. Mengatur anak tanpa mempertimbangkan kehendak anak dianggap sudah menjadi kewajiban orang tua.
Saya mempunyai teman dirumah yang kebetulan anak seorang tentara. Kegiatan di rumah diatur sesuai jadual yang ditetapkan orang tuanya. Ia harus belajar sampai menjelang tengah malam. Subuh harus bangun untuk bekerja membersihkan rumah. Bila ia itu melanggar, ia pasti ditempeleng atau dipukuli. Sang Bapak sama sekali tidak merasa bersalah. Ia beranggapan melakukan semuanya demi kebaikan anak. Mengatur anak tanpa mempertimbangkan kehendak anak dianggap sudah menjadi kewajiban orang tua.
b. Hubungan anak dengan orang dewasa berlaku
seperti hirarkhi sosial di masyarakat
Atasan tidak boleh dibantah. Aparat pemerintah harus
selalu dipatuhi. Guru harus di gugu dan ditiru. Orang tua wajib ditaati. Dalam
hirarkhi sosial seperti itu anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Guru
dapat menyuruhnya untuk berlari telanjang atau push up sebanyak-banyaknya tanpa
mendapat sanksi hukum. Orang tua dapat memukul anaknya pada waktu yang lama
tanpa merasa bersalah. Selalu muncul pemahaman bahwa anak dianggap lebih
rendah, tidak pernah dianggap mitra sehingga dalam kondisi apapun anak harus
menuruti apapun kehendak orang tua. Hirarkhi sosial ini muncul karena
tranformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalunya. Zaman dulu, anak
diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh mendebat barang sepatahpun. Orang
dewasa melihat anak-anak sebagai bakal manusia dan bukan sebagai manusia yang
hak asasinya tidak boleh dilanggar.
c. Kemiskinan
Kita akan menemukan bahwa para pelaku dan juga koban
kekerasan anak kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah.
Kemiskinan, yang tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena
struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan subkultur
kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orang tua mengalami stress yang
berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik
tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Terjadilah
kekerasan emosional. Pada saat tertentu bapak bisa meradang dan membentak anak
di hadapan banyak orang. Terjadi kekerasan verbal. Kejengkelan yang bergabung dengan
kekecewaan dapat melahirkan kekerasan fisik. Ia bisa memukuli anaknya atau
memaksanya melakukan pekerjaan yang berat. Orang tua bisa menjual anaknya ke
agen prostitusi karena tekanan ekonomi. Gelandangan yang diperkosa preman
jalanan terpuruk ke dalam nasibnya yang getir juga karena kemiskinan. Ada beberapa pandangan berbeda
penyebab kekerasan seksual yang menimpa anak. Orang yang mencabuli anak-anak
dianggap orang yang mengalami disfungsi karena kecanduan alokohol, tidak
memiliki pekerjaan tetat dan penghasilan yang mapan, serta tingkat pendidikan
yang rendah. Menurut Cok Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena
himpitan ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak,
menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya permisif, dan
ketidakkonsistenan piahak kepolisian dalam mengambil tindakan hukum terhadap
pelaku incest.
Koran tokoh menulis beberapa pemicu terjadinya pencabulan
terhadap anak, khususnya oleh orang tua. Pertama, pelaku tidak bisa lagi
melakukan hubungan dengan istri karena alasan kesehatan atau telah lama menduda. Kedua,
pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang ditekuninya. Ketiga,
pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya, atau melihat
anak perempuannya keluar kamar mandi menggunakan handuk. Bahkan, bias pula
pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan, karena terpengaruh
film porno. Lebih jauh, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak,
Dr Seto Mulyadi menyatakan bahwa sekitar 80 hingga 90 persen
anak-anak di Indonesia masih belum mendapatkan hak pendidikan, karena arti
sebenarnya pendidikan itu adalah hak, bukan suatu kewajiban. Berjuta anak
Indonesia yang ke sekolah karena terpaksa, mendapatkan suasana sekolah yang
tidak asyik, dan tidak menyenangkan, padahal belajar efektif adalah belajar
yang menyenangkan. Kondisi
sistem pendidikan negeri ini yang carut-marut menjadikan semakin banyak
tindakan kriminal, kekerasan dan pelanggaran hak asasi yang terjadi. Korupsi
yang membudaya, bukan hanya masalah moralitas, tapi lebih pada bahwa pendidikan
belum berhasil membangun generasi cerdas dan kreatif. Kekerasan guru terhadap siswa sangat
berdampak pada perkembangan psikologis anak. Keengganan anak untuk terus
belajar mata pembelajaran yang diajarkan oleh seorang guru akan berbuah pada
tidak bertambahnya pengetahuan anak terhadap mata pembelajaran tersebut.
Selain juga, traumatik berkelanjutan akan tercipta
pada jiwa anak. Proses
pembelajaran cerdas dan kreatif yang masih belum dimiliki oleh para guru, juga
tidak lepas dari peran lembaga pencetak guru yang cenderung statis dan tidak
bergerak mengikuti perkembangan pengetahuan. Sejak sistem Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA) digunakan hingga kurikulum 2004 dan kurikulum 2006, baru sebagian
kecil guru yang menerapkan proses belajar siswa yang cerdas dan kreatif.
Minimnya penggunaan alam sebagai media belajar merupakan sebuah indikator
sederhana dari miskinnya kapasitas seorang guru. Belajar secara monoton di
dalam kelas berlangsung secara berkelanjutan, pada akhirnya membuahkan generasi
statis, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kehancuran negeri ini. Silih
bergantinya kurikulum dalam waktu singkat, merupakan salah satu aspek kegagalan
pendidikan. Belum terimplementasikannya suatu kurikulum hingga kegagalan
perbaikan kurikulum merupakan beban baru bagi siswa. Termasuk ketika sistem
ujian nasional diberlakukan, yang menjadikan ketidakjujuran sebagai sebuah
bagian dari proses belajar mengajar.
3.
Orang-orang yang layak dituntut tanggung jawabnya terkait dengan “hidup matinya”
dunia anak-anak, yaitu :
a. Orang Tua
Para orang
tua mestinya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang tua dituntut
kecakapannya dalam mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan biarkan anak-anak
hidup dalam kekangan, mental maupun fisik. Sikap memarahi anak habis-habisan
apalagi tindakan kekerasan(pemukulan dan penyikasaan fisik) tidaklah arif,
karena hal itu hanya akan menyebabkan anak tidak mersa diperhatikan, tidak
disayangi. Akhirnya
anak merasa trauma, bahkan putus asa. Penting disadari orag tua bahwa anak
dilahirkan kedunia ini dilekati dengan berbagai hak yang layak didapatkannya.
Seorang anak berhak mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih, sayang dan
perhatian. Anak pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik
dikeluarga maupun disekolah, juga nafkah(berupa pangan, sandang dan papan).
Bagaimana pun keadaannya, tidak wajib seorang anak menafkahi dirinya sendiri,
sehingga ia harus kehilangan banyak hak-haknya sebagai anak karena harus
membanting tulang untuk menghidupi diri atau bahkan keluarganya.
b. Guru
Disini peran
seorang guru dituntut untuk melihat bahwa pendidikan dinegara kita bukan saja
untuk membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental anak
didiknya. Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat diperlukan. Sikap
arif, bijaksana, dan toleransi sangat diperlukan. Idealnya seorang guru
mengenal betul pribadi peserta didik, termasuk status sosial orang tua murid
sehingga ia dapat bersikap dan bertindak bijak Ada toleransi yang diberikan
sehingga tidak menimbulkan kepanikan bagi siswa.
c.
Masyarakat
Anak-anak
kita ini selain bersentuhan dengan orang tua dan guru, mereka pun tidak bisa
lepas dari berbagai persingungan dengan lingkungan masyarakat sekiatr dia
hidup. Untuk itu diperlukan kesadaran juga kerja sama dari berbagai elemen
dimasyarakat untuk turut memberikan nuansa pedidikan positif bagi anak-anak
kita ini. Salah satu elemen tersebur adalah pihak pengelola stasiun TV. Banyak
riset menyimpulkan bahwa pengaruh media (terutama TV) terhadap perilaku anak
(sebagai salah satu penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai tayangan kriminal
diberbagai stasiun TV, tanpa kita sadari telah menampilkan
potret-potret kekerasan yang tentu ini akan berpengaruh pada pembentuk mental
dan pribadi anak. Menjadi tanggung jawab penyelenggara siaran TV untuk
mendisain acarnya dengan acara yang banyak mengandung unsur edukasi yang
positiv.
d.
Pemerintah
Pemerintah
adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemashlahatan rakyatnya,
termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai
generasi penerus. Bahwa orang tua berkewajiban menyayangi, mendidik dan
melindungi anak-anaknya. Namun ini bukan berarti negara melepas tanggung jawabnya.
Untuk membumikan Kovensi-Konvensi yang telah diratifikasi, selain pengembangan
sistem hukum formalnya, dibutuhkan juga perubahan yang sifatnya struktural.
Adalah hal yang mustahil berharap masyakat menyadari arti penting hak anak-anak
jika disaat yang sama ternyata negara dan elit-elit politik masih belum
memiliki sensitivitas terhadap persoalan anak. Padahal negara adalah pemegang
kunci dalam hal pemenuhan hak-hak anak. Dapat dikatakan bahwa tidak
terpenuhinya hak anak-anak secara optimal karena tidak ada penjamin yang jelas
oleh negara.
4. Pelaku
Kekerasan Terhadap Anak
Sementara itu Sekretaris Jendral Komnas Anak, Arist
Merdeka Sirait, menambahkan, pelaku kekerasan terhadap anak sebagian besar
adalah orang terdekat yakni keluarga atau tetangga. Arist menambahkan,
lembaga-lembaga perlindungan anak didaerah berafiliasi dengan Komnas Anak juga
melaporkan selama periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban
kekerasan seksual dari orang terdekat sepaerti orang tua kandung/tiri/angkat,
guru, paman, dan tetangga. Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) mencatat
bahwa tindak kekerasan yang dilakukan terhadap anak lebih banyak terjadi
disekolah dan dilakukan guru. Sepanjang enam bulan pertama tahun 2008, terjadi
kenaikan 39% tindak kekersan yang dilakukan guru terhadap anak dibandingkan
selang waktu yang sama pada tahun lalu. “Yang paling parah dilakukan adalah
tindakan pelecahan seksual oleh guru terhadap anak didiknya”, kata Ketua Umum
KPAI Masna Sari. Menurut Masnah pada 2007, dari 555 tindak kekerasan terhadap
anak, 11,8% dilakukan oleh guru terhadap anak didiknya. Sebanyak 18% dilakukan
oleh orang terdekat.. Pada 6 bulan pertama 2008 tercatat total kekerasan baru
sebanyak 86 tidak kekerasan. Tercatat 62% tindak kekerasan dilakukan pada
wanita. “Meskipun cenderung turun, tetapi kekerasan guru pada anak didiknya
meningkat 39%”, kata Masnah. Lebih parah lagi, menurut Masnah, Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) hendak mengusulkan semacam aturan yang menangkal
bahwa kekerasan yang dilakukan disekolah tidak bisa dikriminalkan. Data statistik tersebut, ditambah
data-data jumlah kasus penculikan anak, kasus perdagangan anak, anak terpapar
asap rokok, anak korban peredaran narkoba, anak yang tak dapat sarana akses
pendidikan, anak yang belum tersentuh layanan kesehatan dan anak yang tak
mempunyai akte kelahiran, memperjelas gambaran muram tentang pemenuhan hak-hak
anak Indonesia.
5. Data-data
Kekerasan Terhadap anak
Ketua Umun
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Seto Mulyadi mengatakan
pelanggaran terhadap anak-anak di Indonesia kian mengkhawatirkan. Seto juga
menjelaskan fenomena kekerasan itu bisa terlihat dari data pelanggaran hak anak
yang dikumpulkan Komnas Anak dari data induk lembaga perlindungan anak yang ada
30 provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut. Data
menunjukkan, pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau
sebanyak 13.447.921 kasus dan pada 2007 jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus.
Sedangkan selama periode Januari hingga Juni 2008, Komnas Anak mencatat
sebanyak 21.872 anak menjadi korban kekerasan fisik dan psikis dilingkungan
sosialnya. Seto Mulyadi mendesak pemerintah untuk segera mengatasi masalah
kekerasan anak karena akan mengancam kelangsungan dan kehidupan bangsa dimasa
depan. Bila kondisi dibiarkan tanpa upaya serius mengatasinya , dikhawatirkan
negeri ini bisa kehilangan satu generasi.Tindak kekerasan terhadap perempuan
dan anak masih sering terjadi. Data laporan K3JHAM selama tahun 2000 di Kota
Tangerang terjadi 29 kasus perkosaan yang terpublikasi, jumlah tersebut
terbesar terjadi di antara 29 kabupaten/kota di Banten yang terlaporkan
perempuan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terpublikasi 26 kasus.
Demikian juga kasus kekerasan terhadap anak secara kualitatif dilaporkan oleh Unicef
sering terjadi di Kota Tangerang baik di rumah, di sekolah maupun di komunitas. Menurut WHO, kekerasan adalah
penggunaan secara sengaja kekuatan fisik atau kekuatan, ancaman atau kekerasan
aktual terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap kelompok atau
komunitas, yang berakibat luka atau kemungkinan besar bisa melukai, mematikan,
membahayakan psikis, pertumbuhan yang tidak normal atau kerugian.
Kekerasan yang menimpa anak-anak, baik dari keluarga,
sekolah, maupun lingkungan sekitar, terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Kekerasan terhadap anak pada 2005 meningkat sekitar 20
sampai 25 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2005
lalu, kasus kekerasan terhadap anak yang berhasil dicatat Komnas PA
mencapai 700 kasus, sedangkan pada tahun 2004 sekitar 500 kasus. Sementara itu,
Data Pusat Krisis Terpadu (PKT) RS Cipto Mangunkusumo menunjukkan, bahwa jumlah
kasus kekerasan terus meningkat,
yaitu dari hanya sekitar 226 kasus pada tahun 2000 menjadi 655 kasus pada tahun
2003. Dari jumlah kasus tersebut, hampir 50 persen adalah korban kekerasan seksual, sekitar 47 persen
korbannya adalah anak-anak (di
bawah usia 18 tahun); dan sekitar 74 persen korbannya adalah berpendidikan SD
hingga SLTA. Selama tahun 2006 (dalam Andez, 2007), data dari komnas
Perlindungan Anak (PA)
menyebutkan, jumlah kekerasan
fisik sebanyak 247 kasus, kekerasan
seksual 426 kasus sedangkan kekerasan
psikis 451 kasus. Kasus-kasus tersebut, kata Adwin, lebih banyak terjadi di
luar Jakarta. LBH PA sendiri, yang merupakan LBH khusus anak
satu-satunya di Indonesia, tidak setiap hari menerima laporan kasus anak.
6.
Undang-Undang tentang Kekerasan terhadap Anak
Kasus kekerasan terhadap anak cenderung meningkat,
meski pemerintah mengeluarkan beberpa UU yang mengaturnya. Untuk menangani
kekerasan terhadap anak, pemerintah juga perlu membentuk tim penanggulangan
kasus tersebut seperti yang diterapkan di Malaysia. Tim itu terdiri atas wakil
dari unsur rumah sakit, tenaga perlindungan anak dari Departemen Sosial,
kepolisian, ahli hukum, perwakilan sekolah dan pengelola data. Dr. Irwanto mengakui, saat ini ada beberapa
undang-undang (UU) terkait perlindungan terhadap anak yakni UU Nomor 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU tentang Perlindungan Korban dan Sanksi, serta
UU tentang Narkotika. Tapi semua
UU tidak lengkap dan tidak harmonis satu sama lain. Banyak definisi yang
bertentangan. Bahkan ada beberapa pasal didalamnya yang merugikan anak dan
belum dicabut, misalnya tentang usia tanggung jawab kriminal anak. Untuk itu,
kata Dr. Irwanto, selain menyempurnakan peraturan perundangan yang ada
pemerintah dan pihak terkait juga harus menyiapakan mekanisme intervensi
nasional untuk mencegah dan menghentikan kekerasan terhadap anak. Penerapan
mekanisme intervenesi nasional itu harus didukung oleh lembaga lintas
sektor dan profesi serta sepenuhnya dibiayai oleh negara. Diberlakukannya UU No. 23/2002
tentang perlindungan anak seolah menjadi antilimaks dari aktivis perlindungan
anak. Padahal UU ini saja tidak cukup untuk menurunkan tingkat kejadian
kekerasan terhadap anak . UU ini juga belum dapat diharapkan untuk mempunyai
efek deteran karena belum banyak dikenal oleh aparat maupaum masyarakat.
Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak akan terus
berlanjut dan jumlah kejadiannya tidak akan menurun kerena sikon hidup saat ini
sangat sulit dan kesulitan ekonomi akan memicu berbagai ketegangan dalm rumah
tangga yang akan merugikan pihak-pihak yang paling lemah dalam keluarga itu.
Anak adalah pihak yang paling lemah dibanding anggota keluarga yang lain. Kekerasan dalam rumah tangga yang
terjadi pada perempuan dan anak-anak merupakan masalah yang sulit di atasi.
Umumnya masyarakat menganggap bahwa anggota keluarga itu milik laki-laki dan
masalah kekerasan di dalam rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak dapat
dicampuri oleh orang lain. Sebetulnya Indonesia telah meratifikasi konvensi
mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan
Undang-Undang No. 7/1984, Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak serta Undang-Undang No. 29 tahun 1999. Sering pejabat terkait seperti
Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak yang kurang memahami sehingga
setiap ada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak atau Hak
Azazi Manusia masih selalu mengacu pada KUH Pidana. Oleh karena itu kita merasa sangat
perlu untuk mensosialisasikan UU No. 23 Tahun 2004 tanggal 22 September 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, karena keutuhan dan kerukunan rumah
tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang
dalam rumah tangga agar dapat melaksanaan hak dan kewajibannya yang didasari
oleh agama, perlu dikembangkan dalam membangun keutuhan rumah tangga. Sosialisasi ini bisa melalui banyak
cara antara lain penayangan iklan di televisi, melalui radio, poster,
penataran, seminar dan distribusi buku UU tersebut ke masyarakat umum,
akademisi, instansi pemerintah termasuk lini paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU
No. 23/2004 sebetulnya masih kurang memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan anak-anak masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah
korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga
kepada kepolisian.
7. Berbagai
Macam Kekerasan yang dialami Anak
Kekerasan terhadap anak ternyata masih terus terjadi.
Setiap hari ratusan ribu bahkan jutaan anak Indonesia mencari nafkah di terik
matahari, di kedinginan malam, atau di tempat-tempat yang berbahaya,ada anak
yang disiksa orangtuanya atau orang yang memeliharanya. Setiap malam, di antara
gelandangan ada saja gadis-gadis kecil yang diperkosa preman jalanan, Setiap
menit ada saja anak yang ditelantarkan orangtuanya karena kesibukan karier,
kemiskinan, atau sekedar egoisme. Mereka tidak masuk koran karena mereka
tidak mati tiba-tiba. Umumnya mereka mati perlahan-lahan. Mereka
tidak muncul dalam media karena perlakuan kejam yang mereka terima tidak dilaporkan
polisi. Tak hanya
mengalami perlakuan salah dari orang tua atau anggota keluaraga, sosok bernama
anak ini pun kadang masih harus berhadapan dengan guru yang belum seluruhnya
mampu menjadikan dirinya sebagai pendidik anak yang baik. Bahkan disektor
publik, relitasnya bahkan lebih ironis. Banyak anak-anak yang dipaksa bekerja
untuk menambal kehidupan ekonomi keluarganya. Dibeberapa daerah anak-anak sudah
harus terjun menjadi kuli kontrak siang dan malam, buruh selama delapan jam
sehari di pabrik dalm ruang tertutup dan menggunakan alat bermesin, atau kuli
turunan diperkebunan. Bahkan ada pula yang dijadikan mangsa di hotel-hotel,
tempat hiburan atau lokalisasi maksiat.
Dijalanan, manusia bernama anak itu, lagi-lagi
menghadapi masyarakat dan negarayang tidak ramah terhadap diri dan statusnya.
Berbagai hinaan, cacian, makian, kekejaman, kekerasan dan image-image buruk
masyarakat telah menjadi bagian kesehariannya. Dan jangan heran, kekerasan itu,
bukan hanya terjadi di kota-kota besar,tapi juga dipelosok kampung. Disamping dapat menimbulkan dampak
yang luar biasa pada diri si korban, kasus kekerasan seksual juga dapat mengiji
kebenaran dari pernyataan Singarimbun, bahwa modernisai sering diasosiasikan
sebagai keserbabolehan melakukan hubungan seksual. Penelitian Murray Straus, seorang
sosiolog dari University of New Hampshire yang melakukan survei terhadap 991
orang tua menemukan, 90% orang tua mengaku melakukan bentuk-bentuk agresi
psikologis saat dua tahun pertama usia anak.
75 persen di antaranya mengaku melakukan bentakan atau berteriak pada anak. Seperempat orang tua menyumpahi
atau memaki anaknya, dan sekira
6% bahkan mengancam untuk mengusir sang anak.
Menurut survei tersebut, membentak dan mengancam adalah bentuk paling umum dari
agresi yang dilakukan orang tua. Dibandingkan tindakan yang lebih ekstrem lagi,
seperti mengancam, memaki, dan memanggil dengan kasar dengan panggilan bodoh,
malas, dan sebagainya, maka membentak paling banyak dilakukan. Bukan hanya
kepada anak, bayi pun kena
bentak. Suharto
sebagaimana dikutip Huraerah, mengelompokkan kekerasn anak (child abuse)
menjadi empat macam, yakni physical abuse, psychological abuse, social abuse,
dan sexual abuse (kekerasan seksual). Kemudian klasifikasi kekerasan atau
penganiayaan seksual pada anak menurut Resna dan Darmawan diklasifikasikan
menjadi tiga kategori, antara lain perkosaan, incest, dan eksploitasi.
Perkosaan biasanya terjadi pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan
memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan
seksual atau aktivitas seksual lainnya antarindividu yang mempunyai
hubungan dekat, yang perkawinan diantara mereka dilarang, baik oleh hukum,
kultur, maupun agama. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi.
Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan di
masyarakat, selalu diwarnai kekerasn fisik atau psikologis
8.
Akibat-akibat Kekerasan terhadap Anak
Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah
bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif.
Sering kita dapatkan orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai
keinginan pribadi yang sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil
produksi orang tua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan
apa saja. Bermacam-macam
sikap orang tua yang salah atau kurang tepat serta akibat-akibat yang mungkin
ditimbulkannya antara lain sebagai berikut:
a. Orang
tua yang selalu khawatir dan selalu melindungi
Anak yang
diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu melindungi,
akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan
sulit berdiri sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu, mungkin si
anak akan berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan
atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa berakibat terjadinya kekerasan
terhadap anak.
b. Orang
tua yang terlalu menuntut
Anak yang
dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-nilai yang
terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau akan terjadi
pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak seperti
contoh kasus di atas.
c. Orang
tua yang terlalu keras
Anak yang
diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak yang penurut
namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya ia akan
menjadi penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan terhadap anak. Kesadaran tentang hak-hak anak dan
efek buruk kekerasan terhadap anak masih menjadi sesuatu yang cukup langka di
masyarakat kita. Bentakan, tamparan, pengurungan, ataupun penelantaran (neglect),
dipandang dalam kerangka pendisiplinan anak. Akibatnya, tindakan kekerasan
terhadap anak seperti mendapat permakluman dan toleransi serta dipandang sebagai
bagian dari pendidikan yang memang merupakan kewajiban orangtua. Selain itu,
tindakan kekerasan terhadap anak secara umum juga lebih dipandang sebagai
masalah internal keluarga, sehingga relatif menjadi tabu untuk dibicarakan
secara lebih terbuka. Jika anak hanya mendapat contoh kekerasan, maka diperkirakan pola-cara
hidup mereka juga akan dijalani dengan kekerasan,
tidak dengan dialog atau diskusi. Secara umum diakui bahwa kekerasan itu bisa datang dari
keluarga yang penuh konflik dan dari lingkungan sekolah karena tuntutan guru
dalam pencapaian prestasi. Kasus kekerasan
anak sering menjadi headline di berbagai media. Namun, banyak kasus yang
belum terungkap, karena kasus kekerasan
ini dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting. Begitu banyak kasus kekerasan yang terjadi pada anak tetapi hanya sedikit kasus yang
ditindaklanjuti. Muncul anggapan bahwa masalah kekerasan anak adalah masalah domestik keluarga yang tidak perlu
diketahui orang lain. Padahal, seorang anak
merupakan generasi penerus bangsa kehidupan masa kecil anak sangat berpengaruh terhadap sikap mental dan moral anak ketika dewasa nanti.
9.
Upaya-upaya Untuk Menanggulangi Kekerasan Terhadap Anak
Lambatnya terungkap kasus kekerasan anak ini
disebabkan kurangnya kesadaran dari berbagai pihak terutama keluarga dalam
menyikapi hal tersebut. Dengan berbagai pertimbangan kadang mereka tidak beani
melaporkan kejadian tersebut pada pihak yang berwajib, akibatnya banyak kasus
yang terlambat terungkap bahkan tidak terungkap sama sekali. Menghilangkan ketimpangan sosial. Faktor yang paling dominan yang
mendorong tindakan kekerasan terhadap anak adalah faktor ketimpangan sosial.
Oleh Karena itu untuk menghapuskan kekerasan terhadap anak adalah menghilangkan
ketimpangan sosial tersebut dengan mereformasi sistem politik dan ekonomi
negeri ini. Sudah terlalu lama pemerintah mengabaikan derita lebih dari seratus
juta rakyat untuk kepentingan seratus orang pengusaha. Kenaikan BBM yang
diikuti dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok mengakibatkan beban ekonomi
rakyat semakin berat. Bantuan Tunai Langsung (BTL) mungkin merupakan salah satu
solusi jangka pendek dari pemerintah. Akan tetapi pertanyaan yang muncul adalah
apakah BTL tersebut dapat berlangsung terus untuk menghidupi rakyat-rakyat
miskin ? Dan apakah BTL tersebut bukan malah akan mendidik mental rakyat
menjadi pengemis yang justru kontra produktif . Menurut saya, yang lebih
penting adalah bagaimana pemerintah membuat kebijakan yang pro rakyat kecil
seperti bantuan kredit untuk usaha dengan bunga sangat kecil untuk mendorong
rakyat berusaha meningkatkan taraf hidup, pemberian dana beasiswa untuk
anak-anak menyelesaikan pendidikan, pemberian dana kesehatan untuk meningkatkan
kualitas hidup dan kredit perumahan yang terjangkau oleh rakyat kecil.
Jika mengacu pada manifesto kelompok pemenang
penghargaan Nobel Perdamaian, ada upaya untuk meminimalisirnya. Pertama,
menerapkan prinsip anti kekerasan aktif, dengan menolak kekerasan dengan segala
bentuknya. Kedua, menumbuhkan sikap murah hati berbagi waktu dan materi dengan
tujuan mengakhiri keterkucilan, ketidakadilan, tekanan politik dan ekonomi.
Ketiga, mempertahankan kebebasan berpendapat dan keanekaragaman budaya dengan
mengedepankan dialog dan sikap mau mendengarkan orang lain.
B. Ada
beberapa solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, yaitu:
a. Pendidikan
dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup
Dari
beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa
tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap perkembangannya
baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak
kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang
cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang
memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
b. Keluarga
Yang Hangat Dan Demokratis
Psikolog
terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an memisahkan anak-anak
monyet dari ibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu
ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan, tidak dapat
menyesuaikan diri dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet
itu besar dan melahirkan bayi-bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan
berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-anaknya dan seringkali melukainya. Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ
anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan
keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa
tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh
pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk
berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan
anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ
(bahkan Kecerdasan Emosi) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point. Hasil penelitian R. Study juga
membuktikan bahwa 63% dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak
dilenkuen (nakal), berasal dari keluarga yang tidak utuh (broken home). Kemudian
hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig (Jerman) menyatakan bahwa 70,8
persen dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang
tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. Membangun
komunikasi yang efektif, kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan
karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga
yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka).
Dua hal itu
kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak
ketiga. Sebagai contoh kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik garment di
Ciledug, Tangerang. Amy Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi
korban kekerasan dari ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya
terlambat tahu karena sibuk mengurus bisnis dan hanya sesekali mengunjungi
mereka. Mereka dituntut ibunya agar meraih prestasi di segala bidang sehingga
waktu mereka dipenuhi kegiatan belajar dan beragam kursus seperti balet, kumon,
piano dan ice skating. Jika tidak bersedia, mereka disiksa dengan segala cara.
Mereka juga pernah dibiarkan berada di luar rumah saat musim dingin. Kejadian
ini mungkin tidak terjadi jika ayahnya selalu mendampingi anak-anaknya.
Zastrow
dalam bukunya, “The Practice of Social Work” mengemukakan ada beberapa model
program counseling yang dapat diberikan kepada anak yang mengalami sexual
abuse, yaitu:
a.The
dynamics of sexual abose
Artinya,
terapi difokuskan kepada pengembangan konsepsi. Pada kasus tersebut kesalahan
dan tanggung jawab berada pada pelaku bukan korban. Anak dijamin tidak
disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.
b.
Protective behaviors counseling
Artinya,
anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentannya dengan usia.
Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi, berkata tidak terhadap
sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan, menjauh secepatnya dari orang yang
kelihatan sebagai abusive person, melaporkan pada orang tua atau orang dewasa
yang dipercaya dapat membantu menghentikan perlakuan yang salah.
c. Survivor
or self-esteem counseling
Artinya,
menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka sebenarnya bukanlah
korban, melainkan orang yang mampu bertahan (survivor) dalam mennghadai sexual
abuse.
d. Feeling
counseling
Artinya
terlebih dahulu diidentifikasi kemampuan anak yang mengalami sexual abuse untuk
mengenali berbagai perasaan. Kemudian mereka didorong untuk mengekspresikan
perasaan-perasaannya yang tidak menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse
maupun sesudahnya. Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat
memfokuskan perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau
kepada orang tua, polisi, pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang dapat
melindungi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar